Kamis, 29 Januari 2015

Angio Fibroma Nasofaring Juvenile

Angiofibroma Nasofaring Juvenile
By Uyunk Aminy

Pendahuluan

Angiofibroma nasofaring adalah tumor jinak pembuluh darah di nasofaring yang secara histologik jinak namun secara klinis bersifat ganas, karena mempunyai kemampuan mendestruksi tulang dan meluas ke jaringan sekitarnya, seperti ke sinus paranasal, pipi, mata dan tengkorak, serta sangat mudah berdarah yang sulit dihentikan dan terjadi pada laki-laki prepubertas dan remaja. Umumnya terdapat pada rentang usia 7 s/d 21 tahun dengan insidens terbanyak antara usia 14-18 tahun dan jarang pada usia diatas 25 tahun. Tumor ini merupakan tumor jinak nasofaring terbanyak5 dan 0,05% dari seluruh tumor kepala dan leher. Dilaporkan insidennya antara 1 : 5.000 – 1 : 60.000 pada pasien THT1,2,3.

Gejala utama yang sering timbul adalah epistaksis dan hidung tersumbat. Faktor hormonal diduga berhubungan dengan kejadian tumor ini. Beberapa penelitian yang mempelajari tentang androgen receptor binding pada jaringan tumor dari tiga pasien dengan angiofibroma nasofaring juvenile memperlihatkan peningkatan sel tumor dengan testosteron dan berkurang dengan antiandrogen4,5.

Cara pengobatan tumor ini antara lain radiasi, operasi, dan terapi hormonal. Sekarang ini cara pengobatan yang dapat dilakukan adalah reseksi bedah. Sedangkan radioterapi mungkin efektif pada kasus tertentu, lebih disukai menggunakan radiasi pada penyakit residual atau jika operasi tidak mungkin dilakukan. Penilaian termasuk CT scanning dan arteriografi untuk memastikan sumber pembuluh darah utama dari tumor6,7.

Tinjauan Pustaka

A. Patogenesis

Penyebab yang pasti dari angiofibroma belum diketahui secara pasti. Beberapa pendapat dari para ahli telah dikemukakan pada dasarnya dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu berdasarkan jaringan tempat asal tumbuh tumor dan adanya gangguan hormonal. Pada teori tentang jaringan asal tumbuh, diduga tumor terjadi karena pertumbuhan abnormal jaringan fibrokartilago embrional di daerah oksipital os spenoidalis.

Sedangkan teori hormonal menerangkan bahwa tumbuhnya angiofibroma diduga karena ketidakseimbangan hormonal, terutama androgen. Banyak bukti memperlihatkan secara langsung adanya reseptor sex hormon muncul pada angiofibroma dengan menggunakan teknik sensitive immunocytochemical dan mencatat populasi sel yang mana memperlihatkan reseptor tersebut. 24 angiofibroma nasofaring diperoleh dari jaringan penyimpanan, dan studi imunositokimia menunjukkan dengan antibodi pada reseptor androgen (RA), reseptor progesteron (RP), dan reseptor estrogen (RE). Stromal positif dan nukleus endotelial immunostaining, menunjukkan adanya RA pada 75% dari 24 kasus, 8,3% positif andibodi RP dan negatif dengan antibodi dengan RE. Hasil menetapkan bukti langsung pertama adanya antibodi dari reseptor androgen pada angiofibroma. Anggapan ini didasarkan juga atas adanya hubungan erat antara tumor dengan jenis kelamin dan umur. Banyak ditemukan pada anak atau remaja laki-laki.

Penelitian lain menunjukkan adanya faktor pertumbuhan yang memediasi proliferasi agresif sel stromal dan angiogenesis. Transforming Growth Factor-1 (TGF-1) atau faktor pertumbuhan pengubah-1 adalah polipeptida yang disekresikan dalam bentuk inaktif, dipecah untuk menghasilkan bentuk aktif, dan kemudian tidak diaktifkan dalam jaringan. TGF-1 mengaktifkan proliferasi fibroblas dan dikenal sebagai induksi angiogenesis. TGF-1 aktif diidentifikasi pada sel nukleus stromal dan sitoplasma dan pada endotelium kapiler pada semua spesimen angiofibroma nasofaring juvenile 1,2.

Tumor ini mulai tumbuh di nasofaring, kemudian dapat meluas ke rongga hidung, sinus maksila, sinus etmoid, basis kranium. Pada pemeriksaan mungkin ditemukan benjolan pada pipi atau proptosis, ini disebabkan karena ekspansi masa tumor ke dalam spasium pterigomaksila dan orbita 4. Perluasan ke intrakranial dapat terjadi melalui fosa infratemporal dan pterigomaksila masuk ke fosa serebri media. Dari sinus etmoid masuk ke fosa serebri anterior atau dari sinus sfenoid ke sinus kavernosus dan fosa hipofise 1.

B. Gejala Klinik

Gejala klinik terdiri dari hidung tersumbat (80-90%); merupakan gejala yang paling sering, diikuti epistaksis (45-60%); kebanyakan unilateral dan rekuren, nyeri kepala (25%); khususnya bila sudah meluas ke sinus paranasal, pembengkakan wajah (10-18%) dan gejala lain seperti anosmia, rhinolalia, deafness, pembengkakan palatum serta deformitas pipi. Tumor ini sangat sulit untuk di palpasi, palpasi harus sangat hati-hati karena sentuhan jari pada permukaan tumor dapat menimbulkan perdarahan yang ekstensif 2.

Adanya obstruksi hidung memudahkan terjadinya penimbunan sekret sehingga timbul rinore kronis yang diikuti oleh gangguan penciuman. Tuba eustachius akan menimbulkan ketulian atau otalgia. Sefalgia hebat biasanya menunjuukkan bahwa tumor sudah meluas ke intrakranial 1.

Biasanya penderita datang karena epistaksis yang hebat, pucat karena anemi, atau hidung terasa buntu. Penyebab epistaksis disebabkan lepasnya krusta pada permukaan tumor atau karena tumor sendiri mengalami ulserasi, dan jarang sekali karena erosi pembuluh darah besar 4.

C. Diagnosis

Diagnosis biasanya ditegakkan melalui anamnesis gejala klinis yang dirasakan pasien. Selain itu juga dapat ditegakkan melalui pemeriksaan fisik dan penunjang. Pada pemeriksaan fisik secara rinoskopi pisterior akan terlihat massa tumor yang konsistensinya kenyal, warna bervariasi dari abu-abu sampai merah muda. Bagian tumor yang terlihat di nasofaring biasanya diliputi oleh selaput lendir berwarna keunguan, sedangkan bagian yang meluas ke luar nasofaring berwarna putih atau abu-abu. Pada usia muda warnanya merah muda, pada usia yang lebih tua warnanya kebiruan, karena lebih banyak komponen fibromanya. Mukosanya yang mengalami hipervaskularisasi dan tidak jarang ditemukan adanya ulserasi 1.

Secara mikroskopis tampak terdiri dari komponen pembuluh darah di dalam stroma yang fibrous. Pada pertumbuhan tumor yang aktif, komponen pembuluh darah menjadi predominan. Dinding pembuluh darah secara umum terdiri dari endothelial tunggal yang melapisi stromafibrous. Ini membantu untuk menyebabkan perdarahan yang masif. Pembuluh darah dalam bisa memiliki suatu lapisan muskular. Stroma terbuat dari fibril kolagen yang halus dan kasar yang memiliki ciri-ciri jaringan ikat berbentuk bintang pada daerah tertentu 3.

Karena tumor sangat mudah berdarah, sebagai pemeriksaan penunjang diagnosis dilakukan pemeriksaan radiologik konvensional, CT scan dan arteriografi. Pada pemeriksaan radiologik konvensional (foto kepala AP-lateral, Waters) akan terlihat gambaran klasik yang disebut tanda Holman Miller yaitu pendorongan prosesus pterigoideus ke belakang, sehingga fisura pterigo-palatina akan melebar. Akan terlihat juga massa jaringan lunak di daerah nasofaring yang dapat mengerosi dinding orbita, arkus zigoma dan tulang di sekitar nasofaring. Pada pemeriksaan CT scan dengan zat kontras akan tampak secara tepat perluasan massa tumor serta destruksi tumor ke tulang sekitarnya 1.

Pada foto polos gambaran pada sinus dapat tampak seperti polip nasofaring dan lengkungan ke depan serta opasifikasi dari dinding posterior sinus maksila. Pada CT scan tampak perluasan tumor pada sinus sfenoid, erosi pada tulang sfenoid, atau invasi pada pterigomaksila dan fosa infratemporal terkadang dapat dilihat 7.

Magnetic Resonance Imaging (MRI) diindikasikan untuk menggambarkan dan menentukan batas tumor terutama pada kasus yang sudah meluas ke intrakranial 1,7.

Angiografi memperlihatkan cabang dari arteri carotis eksterna sebagai vaskularisasi utama pada tumor (94%). Vaskularisasi utama pada tumor berasal dari arteri maksilaris interna, tetapi arteri vidianus atau arteri faringeal ascenden juga berkontribusi daram memperdarahi tumor. Akan tampak arteri maksilaris interna terdorong ke depan sebagai akibat dari pertumbuhan tumor dari posterior ke anterior dan dari nasofaring ke arah fosa pterigomaksila. Selain itu massa tumor akan terisi oleh kontras pada fase kapiler dan akan mencapai maksimum setelah 3-6 detik zat kontras disuntikkan. Pada kasus yang jarang terdapat juga perdarahan dari cabang arteri carotis interna 1,7.

Kadang-kadang juga sekaligus dilakukan embolisasi agar terjadi trombosis intravaskular, sehingga vaskularisasi berkurang dan akan mempermudah pengangkatan tumor 1.

Pemeriksaan kadar hormonal dan pemeriksaan immunohistokimia terhadap reseptor estrogen, progesteron dan androgen sebaiknya dilakukan untuk melihat adanya gangguan hormonal. Pemeriksaan patologi anatomik tidak dapat dilakukan, karena biopsi merupakan kontraindikasi sebab akan mengakibatkan perdarahan yang masif 1.

Untuk menentukan perluasan tumor, dibuat sistem staging. Ada 2 sistem yang paling sering digunakan yaitu Sessions dan Fisch. Klasifikasi menurut Sessions sebagai berikut 1,2 :

- Stage IA : Tumor terbatas pada nares posterior dan/atau nasofaring

- Stage IB : Tumor melibatkan nares posterior dan/atau nasofaring dengan perluasan ke satu sinus paranasal.

- Stage IIA : Perluasan lateral minimal ke dalam fossa pterygomaksila.

- Stage IIB : Mengisi seluruh fossa pterygomaksila dengan atau tanpa erosi ke tulang orbita.

- Stage IIIA : Mengerosi dasar tengkorak; perluasan intrakranial yang minimal.

- Stage IIIB : Perluasan ke intrakranial dengan atau tanpa perluasan ke dalam sinus kavernosus.

Klasifikasi menurut Fisch :

- Stage I : Tumor terbatas pada kavum nasi, nasofaring tanpa destruksi tulang.

- Stage II :Tumor menginvasi fossa pterygomaksila, sinus paranasal dengan destruksi tulang.

- Stage III :Tumor menginvasi fossa infra temporal, orbita dan/atau daerah parasellar sampai sinus kavernosus.

- Stage IV : Tumor menginvasi sinus kavernosus, chiasma optikum dan/atau fossa pituitary.

D. Penatalaksanaan

Penanganan tumor angiofibroma nasofaring tergantung dari luas dan besarnya tumor, bila masih terbatas dalam nasofaring dan rongga hidung cukup dilakukan eksterpasi tumor, tetapi bila tumor sudah sampai ke dalam kranium, radioterapi merupakan cara pengobatan pilihan 4.

Tindakan operasi merupakan pilihan utama selain terapi hormonal dan radioterapi. Berbagai pendekatan operasi dapat dilakukan sesuai dengan lokasi tumor dan perluasannya, seperti melalui transpalatal, rinotomi lateral, rinotomi sublabial (sublabial mid-facial degloving), atau kombinasi dengan kraniotomi frontotemporal bila sudah meluas ke intrakranial 1.

Penatalaksanaan tumor ini adalah dengan pembedahan yang sering didahului oleh embolisasi intra-arterial 24-48 jam preoperatif yang berguna untuk mengurangi perdarahan selama operasi. Material yang digunakan untuk embolisasi ini terdiri dari mikropartikel reabsorpsi seperti Gelfoam, Polyvinyl alcohol atau mikropartikel nonabsorpsi seperti Ivalon dan Terbal 2.

Sebelum dilakukan operasi pengangkatan tumor selain dilakukan embolisasi untuk mengatasi perdarahan yang banyak dapat dilakukan ligasi arteri karotis eksterna dan anestesi dengan teknik hipotensi.

Pengobatan hormonal diberikan pada pasien dengan stadium I dan II dengan preparat testosteron reseptor bloker (flutamid). Pengobatan radioterapi dapat dilakukan dengan stereotaktik radioterapi (gama knife) atau jika tumor meluas ke intrakranial dengan radioterapi konformal 3 dimensi.

Untuk tumor yang sudah meluas ke jaringan sekitarnya dan mendestruksi dasar tengkorak sebaiknya diberikan radioterapi prabedah atau dapat pula diberikan terapi hormonal 6 minggu sebelum operasi, meskipun hasilnya tidak sebaik radioterapi 1.

Daftar Pustaka

Soepardi, Efiaty Arsyad, dkk. 2007. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher Edisi Ke-enam. Jakarta : FKUI
Asrole, Harry. 2002. Angiofibroma Nasofaring Belia. Medan : FKUSU
Hajar, Siti. 2005. Angiofibroma Nasofaring Belia. Majalah Kedokteran Nusantara Vol.38 No.3 September 2005 : p 251-253
Nutrisno, dkk. 2000. Tumor Hidung Yang Berdarah Di RS. Karyadi Semarang. Cermin Dunia Kedokteran No.52 Tahun 2000 : p 3-5
Mendenhall, et al. 2003. Juvenile Nasopharingeal Angiofibroma. J HK Coll Radiol 2003. 6: p 15-19
Adams, et al. 1997. BOIES Buku Ajar Penyakit THT Edisi 6. Jakarta : EGC
Tewfik, Ted., et al. 2009. Juvenile Nasopharingeal Abgiofibroma. Available at http://emedicine.medscape.com/ (Accessed at March, 17th 2011)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar