Angiofibroma Nasofaring Juvenile
By Uyunk Aminy
Pendahuluan
Angiofibroma nasofaring adalah tumor jinak pembuluh darah di
nasofaring yang secara histologik jinak namun secara klinis bersifat ganas,
karena mempunyai kemampuan mendestruksi tulang dan meluas ke jaringan
sekitarnya, seperti ke sinus paranasal, pipi, mata dan tengkorak, serta sangat
mudah berdarah yang sulit dihentikan dan terjadi pada laki-laki prepubertas dan
remaja. Umumnya terdapat pada rentang usia 7 s/d 21 tahun dengan insidens
terbanyak antara usia 14-18 tahun dan jarang pada usia diatas 25 tahun. Tumor
ini merupakan tumor jinak nasofaring terbanyak5 dan 0,05% dari seluruh tumor
kepala dan leher. Dilaporkan insidennya antara 1 : 5.000 – 1 : 60.000 pada
pasien THT1,2,3.
Gejala utama yang sering timbul adalah epistaksis dan hidung
tersumbat. Faktor hormonal diduga berhubungan dengan kejadian tumor ini.
Beberapa penelitian yang mempelajari tentang androgen receptor binding pada
jaringan tumor dari tiga pasien dengan angiofibroma nasofaring juvenile
memperlihatkan peningkatan sel tumor dengan testosteron dan berkurang dengan
antiandrogen4,5.
Cara pengobatan tumor ini antara lain radiasi, operasi, dan
terapi hormonal. Sekarang ini cara pengobatan yang dapat dilakukan adalah
reseksi bedah. Sedangkan radioterapi mungkin efektif pada kasus tertentu, lebih
disukai menggunakan radiasi pada penyakit residual atau jika operasi tidak
mungkin dilakukan. Penilaian termasuk CT scanning dan arteriografi untuk
memastikan sumber pembuluh darah utama dari tumor6,7.
Tinjauan Pustaka
A. Patogenesis
Penyebab yang pasti dari angiofibroma belum diketahui secara
pasti. Beberapa pendapat dari para ahli telah dikemukakan pada dasarnya dapat
dibagi menjadi dua kelompok yaitu berdasarkan jaringan tempat asal tumbuh tumor
dan adanya gangguan hormonal. Pada teori tentang jaringan asal tumbuh, diduga
tumor terjadi karena pertumbuhan abnormal jaringan fibrokartilago embrional di
daerah oksipital os spenoidalis.
Sedangkan teori hormonal menerangkan bahwa tumbuhnya angiofibroma
diduga karena ketidakseimbangan hormonal, terutama androgen. Banyak bukti
memperlihatkan secara langsung adanya reseptor sex hormon muncul pada
angiofibroma dengan menggunakan teknik sensitive immunocytochemical dan
mencatat populasi sel yang mana memperlihatkan reseptor tersebut. 24
angiofibroma nasofaring diperoleh dari jaringan penyimpanan, dan studi
imunositokimia menunjukkan dengan antibodi pada reseptor androgen (RA),
reseptor progesteron (RP), dan reseptor estrogen (RE). Stromal positif dan nukleus
endotelial immunostaining, menunjukkan adanya RA pada 75% dari 24 kasus, 8,3%
positif andibodi RP dan negatif dengan antibodi dengan RE. Hasil menetapkan
bukti langsung pertama adanya antibodi dari reseptor androgen pada
angiofibroma. Anggapan ini didasarkan juga atas adanya hubungan erat antara
tumor dengan jenis kelamin dan umur. Banyak ditemukan pada anak atau remaja
laki-laki.
Penelitian lain menunjukkan adanya faktor pertumbuhan yang
memediasi proliferasi agresif sel stromal dan angiogenesis. Transforming Growth
Factor-1 (TGF-1) atau faktor pertumbuhan pengubah-1 adalah polipeptida yang
disekresikan dalam bentuk inaktif, dipecah untuk menghasilkan bentuk aktif, dan
kemudian tidak diaktifkan dalam jaringan. TGF-1 mengaktifkan proliferasi
fibroblas dan dikenal sebagai induksi angiogenesis. TGF-1 aktif diidentifikasi
pada sel nukleus stromal dan sitoplasma dan pada endotelium kapiler pada semua
spesimen angiofibroma nasofaring juvenile 1,2.
Tumor ini mulai tumbuh di nasofaring, kemudian dapat meluas
ke rongga hidung, sinus maksila, sinus etmoid, basis kranium. Pada pemeriksaan
mungkin ditemukan benjolan pada pipi atau proptosis, ini disebabkan karena
ekspansi masa tumor ke dalam spasium pterigomaksila dan orbita 4. Perluasan ke
intrakranial dapat terjadi melalui fosa infratemporal dan pterigomaksila masuk
ke fosa serebri media. Dari sinus etmoid masuk ke fosa serebri anterior atau
dari sinus sfenoid ke sinus kavernosus dan fosa hipofise 1.
B. Gejala Klinik
Gejala klinik terdiri dari hidung tersumbat (80-90%);
merupakan gejala yang paling sering, diikuti epistaksis (45-60%); kebanyakan
unilateral dan rekuren, nyeri kepala (25%); khususnya bila sudah meluas ke
sinus paranasal, pembengkakan wajah (10-18%) dan gejala lain seperti anosmia,
rhinolalia, deafness, pembengkakan palatum serta deformitas pipi. Tumor ini
sangat sulit untuk di palpasi, palpasi harus sangat hati-hati karena sentuhan
jari pada permukaan tumor dapat menimbulkan perdarahan yang ekstensif 2.
Adanya obstruksi hidung memudahkan terjadinya penimbunan
sekret sehingga timbul rinore kronis yang diikuti oleh gangguan penciuman. Tuba
eustachius akan menimbulkan ketulian atau otalgia. Sefalgia hebat biasanya
menunjuukkan bahwa tumor sudah meluas ke intrakranial 1.
Biasanya penderita datang karena epistaksis yang hebat,
pucat karena anemi, atau hidung terasa buntu. Penyebab epistaksis disebabkan
lepasnya krusta pada permukaan tumor atau karena tumor sendiri mengalami
ulserasi, dan jarang sekali karena erosi pembuluh darah besar 4.
C. Diagnosis
Diagnosis biasanya ditegakkan melalui anamnesis gejala
klinis yang dirasakan pasien. Selain itu juga dapat ditegakkan melalui
pemeriksaan fisik dan penunjang. Pada pemeriksaan fisik secara rinoskopi
pisterior akan terlihat massa
tumor yang konsistensinya kenyal, warna bervariasi dari abu-abu sampai merah
muda. Bagian tumor yang terlihat di nasofaring biasanya diliputi oleh selaput
lendir berwarna keunguan, sedangkan bagian yang meluas ke luar nasofaring
berwarna putih atau abu-abu. Pada usia muda warnanya merah muda, pada usia yang
lebih tua warnanya kebiruan, karena lebih banyak komponen fibromanya. Mukosanya
yang mengalami hipervaskularisasi dan tidak jarang ditemukan adanya ulserasi 1.
Secara mikroskopis tampak terdiri dari komponen pembuluh
darah di dalam stroma yang fibrous. Pada pertumbuhan tumor yang aktif, komponen
pembuluh darah menjadi predominan. Dinding pembuluh darah secara umum terdiri
dari endothelial tunggal yang melapisi stromafibrous. Ini membantu untuk
menyebabkan perdarahan yang masif. Pembuluh darah dalam bisa memiliki suatu
lapisan muskular. Stroma terbuat dari fibril kolagen yang halus dan kasar yang
memiliki ciri-ciri jaringan ikat berbentuk bintang pada daerah tertentu 3.
Karena tumor sangat mudah berdarah, sebagai pemeriksaan
penunjang diagnosis dilakukan pemeriksaan radiologik konvensional, CT scan dan
arteriografi. Pada pemeriksaan radiologik konvensional (foto kepala AP-lateral,
Waters) akan terlihat gambaran klasik yang disebut tanda Holman Miller yaitu
pendorongan prosesus pterigoideus ke belakang, sehingga fisura pterigo-palatina
akan melebar. Akan terlihat juga massa
jaringan lunak di daerah nasofaring yang dapat mengerosi dinding orbita, arkus
zigoma dan tulang di sekitar nasofaring. Pada pemeriksaan CT scan dengan zat
kontras akan tampak secara tepat perluasan massa tumor serta destruksi tumor ke tulang
sekitarnya 1.
Pada foto polos gambaran pada sinus dapat tampak seperti
polip nasofaring dan lengkungan ke depan serta opasifikasi dari dinding
posterior sinus maksila. Pada CT
scan tampak perluasan tumor pada sinus sfenoid, erosi pada tulang sfenoid, atau
invasi pada pterigomaksila dan fosa infratemporal terkadang dapat dilihat 7.
Magnetic Resonance Imaging (MRI) diindikasikan untuk
menggambarkan dan menentukan batas tumor terutama pada kasus yang sudah meluas
ke intrakranial 1,7.
Angiografi memperlihatkan cabang dari arteri carotis
eksterna sebagai vaskularisasi utama pada tumor (94%). Vaskularisasi utama pada
tumor berasal dari arteri maksilaris interna, tetapi arteri vidianus atau
arteri faringeal ascenden juga berkontribusi daram memperdarahi tumor. Akan
tampak arteri maksilaris interna terdorong ke depan sebagai akibat dari
pertumbuhan tumor dari posterior ke anterior dan dari nasofaring ke arah fosa
pterigomaksila. Selain itu massa
tumor akan terisi oleh kontras pada fase kapiler dan akan mencapai maksimum
setelah 3-6 detik zat kontras disuntikkan. Pada kasus yang jarang terdapat juga
perdarahan dari cabang arteri carotis interna 1,7.
Kadang-kadang juga sekaligus dilakukan embolisasi agar
terjadi trombosis intravaskular, sehingga vaskularisasi berkurang dan akan
mempermudah pengangkatan tumor 1.
Pemeriksaan kadar hormonal dan pemeriksaan immunohistokimia
terhadap reseptor estrogen, progesteron dan androgen sebaiknya dilakukan untuk
melihat adanya gangguan hormonal. Pemeriksaan patologi anatomik tidak dapat
dilakukan, karena biopsi merupakan kontraindikasi sebab akan mengakibatkan
perdarahan yang masif 1.
Untuk menentukan perluasan tumor, dibuat sistem staging. Ada 2 sistem yang paling
sering digunakan yaitu Sessions dan Fisch. Klasifikasi menurut Sessions sebagai
berikut 1,2 :
- Stage IA : Tumor terbatas pada nares posterior dan/atau
nasofaring
- Stage IB : Tumor melibatkan nares posterior dan/atau
nasofaring dengan perluasan ke satu sinus paranasal.
- Stage IIA : Perluasan lateral minimal ke dalam fossa
pterygomaksila.
- Stage IIB : Mengisi seluruh fossa pterygomaksila dengan
atau tanpa erosi ke tulang orbita.
- Stage IIIA : Mengerosi dasar tengkorak; perluasan intrakranial
yang minimal.
- Stage IIIB : Perluasan ke intrakranial dengan atau tanpa
perluasan ke dalam sinus kavernosus.
Klasifikasi menurut Fisch :
- Stage I : Tumor terbatas pada kavum nasi, nasofaring tanpa
destruksi tulang.
- Stage II :Tumor menginvasi fossa pterygomaksila, sinus
paranasal dengan destruksi tulang.
- Stage III :Tumor menginvasi fossa infra temporal, orbita
dan/atau daerah parasellar sampai sinus kavernosus.
- Stage IV : Tumor menginvasi sinus kavernosus, chiasma
optikum dan/atau fossa pituitary.
D. Penatalaksanaan
Penanganan tumor angiofibroma nasofaring tergantung dari
luas dan besarnya tumor, bila masih terbatas dalam nasofaring dan rongga hidung
cukup dilakukan eksterpasi tumor, tetapi bila tumor sudah sampai ke dalam
kranium, radioterapi merupakan cara pengobatan pilihan 4.
Tindakan operasi merupakan pilihan utama selain terapi
hormonal dan radioterapi. Berbagai pendekatan operasi dapat dilakukan sesuai
dengan lokasi tumor dan perluasannya, seperti melalui transpalatal, rinotomi lateral,
rinotomi sublabial (sublabial mid-facial degloving), atau kombinasi dengan
kraniotomi frontotemporal bila sudah meluas ke intrakranial 1.
Penatalaksanaan tumor ini adalah dengan pembedahan yang
sering didahului oleh embolisasi intra-arterial 24-48 jam preoperatif yang
berguna untuk mengurangi perdarahan selama operasi. Material yang digunakan
untuk embolisasi ini terdiri dari mikropartikel reabsorpsi seperti Gelfoam,
Polyvinyl alcohol atau mikropartikel nonabsorpsi seperti Ivalon dan Terbal 2.
Sebelum dilakukan operasi pengangkatan tumor selain
dilakukan embolisasi untuk mengatasi perdarahan yang banyak dapat dilakukan
ligasi arteri karotis eksterna dan anestesi dengan teknik hipotensi.
Pengobatan hormonal diberikan pada pasien dengan stadium I dan
II dengan preparat testosteron reseptor bloker (flutamid). Pengobatan
radioterapi dapat dilakukan dengan stereotaktik radioterapi (gama knife) atau
jika tumor meluas ke intrakranial dengan radioterapi konformal 3 dimensi.
Untuk tumor yang sudah meluas ke jaringan sekitarnya dan
mendestruksi dasar tengkorak sebaiknya diberikan radioterapi prabedah atau
dapat pula diberikan terapi hormonal 6 minggu sebelum operasi, meskipun
hasilnya tidak sebaik radioterapi 1.
Daftar Pustaka
Soepardi, Efiaty Arsyad, dkk. 2007. Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher Edisi Ke-enam. Jakarta : FKUI
Asrole, Harry. 2002. Angiofibroma Nasofaring Belia. Medan : FKUSU
Hajar, Siti. 2005. Angiofibroma Nasofaring Belia. Majalah
Kedokteran Nusantara Vol.38 No.3 September 2005 : p 251-253
Nutrisno, dkk. 2000. Tumor Hidung Yang Berdarah Di RS.
Karyadi Semarang. Cermin Dunia Kedokteran No.52 Tahun 2000 : p 3-5
Mendenhall, et al. 2003. Juvenile Nasopharingeal
Angiofibroma. J HK Coll Radiol 2003. 6: p 15-19
Tewfik, Ted., et al. 2009. Juvenile Nasopharingeal
Abgiofibroma. Available at http://emedicine.medscape.com/ (Accessed at March,
17th 2011)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar