Misteri di Balik Keajaiban Tumor Hidung Angiofibroma
Oleh: Dito Anurogo, S.Ked.
Pengantar
Artikel ilmiah populer berikut ini akan menjelaskan tentang
"Misteri di Balik Keajaiban Tumor Hidung Angiofibroma" yang meliputi:
1. Sinonim
2. Definisi
3. Penyebab
4. Epidemiologi
5. Patofisiologi
6. Manifestasi Klinis, yang meliputi: gejala dan tanda
7. Diagnosis
8. Penemuan Histologis
9. Stadium
10. Penatalaksanaan
11. Diagnosis Banding
12. Komplikasi
13. Prognosis
14. Tahukah Anda?
15. Referensi
Juvenile nasopharyngeal angiofibroma (JNA) merupakan satu di
antara tumor jinak rongga hidung (benign nasal cavity tumors) yang paling umum
dialami oleh remaja pria.
Sinonim
Sebutan lain untuk angiofibroma di dalam literatur antara
lain: juvenile angiofibroma, juvenile nasopharyngeal angiofibroma, JNA, nasal
cavity tumor, nasal tumor, benign nasal tumor, tumor hidung (nose tumor),
nasopharyngeal tumor, angiofibroma nasofaring belia.
Di dalam artikel ilmiah ini digunakan istilah JNA.
Definisi
JNA merupakan tumor jinak pembuluh darah di nasofaring yang
secara histologis jinak namun secara klinis bersifat ganas karena berkemampuan
merusak tulang dan meluas ke jaringan di sekitarnya, misalnya: ke sinus
paranasal, pipi, rongga mata atau tengkorak (cranial vault), sangat mudah
berdarah dan sulit dihentikan.
Penyebab (Etiology)
Penyebab pastinya belum dapat ditentukan. Namun teori yang
paling dapat diterima adalah bahwa JNA berasal dari sex steroid–stimulated
hamartomatous tissue yang terletak di turbinate cartilage. Pengaruh hormonal
yang dikemukakan ini dapat menjelaskan mengapa beberapa JNA jarang terjadi
(ber-involute) setelah masa remaja (puberty).
Riset terkini oleh Bretani berhasil membuktikan adanya
reseptor estrogen dan progesteron pada JNA, namun kadar gonadotropin di semua
pasien normal.
Teori lainnya yang diajukan adalah tumor berasal dari
embryonal chondrocartilage yang berada di occipital plate.
Selain itu, ada juga teori tentang respon desmoplastic dari
nasopharyngeal periosteum atau embryonic fibrocartilage antara basiocciput dan
basisphenoid.
Teori tentang penyebab dari sel-sel paraganglionik
nonkromafin dari cabang terminal arteri maksilaris juga dipostulasikan.
Hasil analisis hibridisasi genomik komparatif dari tumor ini
juga berhasil mengungkapkan delesi kromosom 17, termasuk daerah untuk tumor
suppressor gene p53 sama seperti Her-2/neu oncogene.
Epidemiologi
JNA banyak dialami terutama remaja putra berusia 14-18
tahun. Jika remaja putri didiagnosis JNA, maka sebaiknya menjalani pemeriksaan
kromosom atau diagnosis JNA akan terus dipertanyakan. Umumnya JNA terjadi pada
dekade kedua kehidupan, tepatnya pada rentang usia 7-19 tahun. JNA jarang
terjadi setelah usia 25 tahun.
Insiden JNA adalah 1 dari 5000-60.000 kasus THT dan
dilaporkan 0,5% dari semua tumor kepala dan leher. Dilaporkan insiden JNA
banyak terjadi di Mesir dan India .
Patofisiologi
Menurut Mansfield E (2006), asal mula JNA terletak di
sepanjang dinding posterior-lateral di atap nasofaring, biasanya di daerah
margin superior foramen sfenopalatina dan aspek posterior dari middle
turbinate. Histologi janin mengkonfirmasikan luasnya area jaringan endotel di
daerah ini.
Bukannya menyerbu jaringan disekitarnya, namun tumor ini
berpindah dan berubah menyandarkan diri pada tekanan sel-sel yang telah mati
(necrosis) untuk merusak dan menekan melalui perbatasan yang banyak tulangnya.
Pada 10-20% kasus, terjadi perluasan intrakranial.
Menurut Tewfik TL (2007), tumor mulai tumbuh di dekat
foramen sfenopalatina. Tumor-tumor yang besar seringkali memiliki dua lobus
(bilobed) atau dumbbell-shaped, dengan satu bagian tumor mengisi nasofaring dan
bagian yang lainnya meluas ke fossa pterigopalatina.
Pertumbuhan anterior terjadi pada membran mukosa nasofaring,
memindahkannya ke anterior dan inferior menuju ke ruang postnasal. Pada
akhirnya, rongga hidung terisi pada satu sisinya, dan septumnya berdeviasi
("bengkok") ke sisi lainnya.
Pertumbuhan superior langsung menuju sinus sfenoid, yang
dapat juga terjadi erosi (eroded). Cekungan sinus (cavernous sinus) dapat
"diserbu" atau diinvasi juga jika tumor berkembang lebih lanjut.
Penyebaran lateral langsung menuju fossa pterigopalatina,
mendesak dinding posterior sinus maksila. Lalu, fossa infratemporal dimasuki
atau diinvasi.
Adakalanya, bagian sfenoid yang lebih besar (the greater
wing of the sphenoid) dapat ter-erosi, membuka middle fossa dura. Terjadi
proptosis dan atrofi nervus optikus jika fissura orbita didesak oleh tumor.
Kejadian angiofibroma ekstranasofaring sangatlah jarang dan
cenderung terjadi pada pasien yang lebih tua, terutama pada wanita, namun tumor
jenis ini lebih sedikit melibatkan pembuluh darah (less vascular) dan kurang
agresif (less aggressive) jika dibandingkan dengan JNA.
Manifestasi Klinis
Gejala
1. Obstruksi nasal (80-90%) dan ingus (rhinorrhea). Ini
merupakan gejala yang paling sering, terutama pada permulaan penyakit.
2. Sering mimisen (epistaxis) atau keluar cairan dari hidung
yang berwarna darah (blood-tinged nasal discharge). Mimisen, yang berkisar
45-60% ini, biasanya satu sisi (unilateral) dan berulang (recurrent).
3. Sakit kepala (25%), khususnya jika sinus paranasal
terhalang.
4. Pembengkakan di wajah (facial swelling), kejadiannya
sekitar 10-18%.
5. Tuli konduktif (conductive hearing loss) dari obstruksi
tuba eustachius.
6. Melihat dobel (diplopia), yang terjadi sekunder terhadap
erosi menuju ke rongga kranial dan tekanan pada kiasma optik.
7. Gejala lainnya yang bisa juga terjadi misalnya: keluar
ingus satu sisi (unilateral rhinorrhea), tidak dapat membau (anosmia),
berkurangnya sensitivitas terhadap bau (hyposmia), recurrent otitis media,
nyeri mata (eye pain), tuli (deafness), nyeri telinga (otalgia), pembengkakan
langit-langit mulut (swelling of the palate), kelainan bentuk pipi (deformity
of the cheek), dan rhinolalia.
Tanda
1. Tampak massa
merah keabu-abuan yang terlihat jelas di faring nasal posterior;
nonencapsulated dan seringkali berlobus (lobulated); dapat tidak bertangkai
(sessile) atau bertangkai (pedunculated). Angka kejadian massa di hidung (nasal mass) ini mencapai
80%.
2. Mata menonjol (proptosis), langit-langit mulut yang
membengkak (a bulging palate), terdapat massa
mukosa pipi intraoral (an intraoral buccal mucosa mass), massa di pipi (cheek mass), atau pembengkakan
zygoma (umumnya disertai dengan perluasan setempat). Angka kejadian massa di rongga mata
(orbital mass) ini sekitar 15%, sedangkan angka kejadian untuk mata menonjol
(proptosis) sekitar 10-15%.
3. Tanda lainnya termasuk: otitis serosa karena terhalangnya
tuba eustachius, pembengkakan zygomaticus, dan trismus (kejang otot rahang)
yang merupakan tanda bahwa tumor telah menyebar ke fossa infratemporal. Juga
terdapat penurunan penglihatan yang dikarenakan optic nerve tenting, namun hal
ini jarang terjadi.
Diagnosis
Diagnosis angiofibroma ditegakkan melalui pemeriksaan radiologi
konvensional, CT scan, MRI, dan angiography.
Pada pemeriksaan radiologi konvensional (foto kepala
potongan anteroposterior, lateral, dan posisi Waters) akan tampak gambaran
klasik "tanda Holman Miller" yaitu pendorongan prosesus pterigoideus
ke belakang, sehingga fisura pterigopalatina melebar.
Pada pemeriksaan CT scan dengan zat kontras akan tampak
perluasan massa
tumor dan destruksi tulang ke jaringan di sekitarnya. Juga tampak perluasan ke
sinus sfenoid, erosi dari greater sphenoidal wing, atau invasi fossa
infratemporal dan pterigomaksilaris.
Pemeriksaan magnetic resonance imaging (MRI) diindikasikan
untuk menetapkan batas tumor, terutama jika telah meluas ke intrakranial.
Angiography menunjukkan cabang-cabang sistem karotid
eksterna yang menjadi penyuplai makanan utama (primary feeders).
Penemuan Histologis
Pada pemeriksaan histologis, ditemukan jaringan serabut yang
telah dewasa/matang (mature fibrous tissue) yang mengandung bermacam-macam
pembuluh darah yang berdinding tipis. Pembuluh-pembuluh darah ini dilapisi
dengan endothelium, namun mereka kekurangan elemen-elemen otot yang dapat
berkontraksi secara normal. Inilah yang dapat menjelaskan tentang kecenderungan
terjadi perdarahan.
Stadium
Untuk menentukan derajat atau stadium tumor, umumnya digunakan
klasifikasi Session dan Fisch.
Klasifikasi Menurut Sessions
Stadium IB - Tumor meliputi nares posterior dan atau ruang
nasofaring dengan keterlibatan sedikitnya satu sinus paranasal.
Stadium IIA – Tumor sedikit meluas ke lateral menuju
pterygomaxillary fossa.
Stadium IIB – Tumor memenuhi pterygomaxillary fossa dengan
atau tanpa erosi superior dari tulang-tulang orbita.
Stadium IIIA – Tumor mengerosi dasar tengkorak (yakni:
middle cranial fossa/pterygoid base); perluasan intrakranial minimal.
Stadium IIIB – Tumor telah meluas ke intrakranial dengan
atau tanpa perluasan ke sinus kavernosus.
Klasifikasi Menurut Fisch
Stadium I – Tumor terbatas di rongga hidung dan nasofaring
tanpa kerusakan tulang.
Stadium II - Tumor menginvasi fossa pterigomaksilaris, sinus
paranasal dengan kerusakan tulang.
Stadium III - Tumor menginvasi fossa infratemporal, orbita
dan atau regio parasellar; sisanya di lateral sinus kavernosus.
Stadium IV - Tumors menginvasi sinus kavernosus, regio
kiasma optik, dan atau fossa pituitari.
Penatalaksanaan
Pada prinsipnya dipakai dua pendekatan sebagai
penatalaksanaan JNA, yakni terapi medis dan terapi pembedahan.
A. Terapi Medis
*Terapi hormonal dan kemoterapi
Flutamide hormonal, suatu nonsteroidal androgen blocker atau
testosterone receptor blocker, efektif untuk mengurangi ukuran tumor pada
stadium I dan II hingga 44%.
Terapi hormonal dengan diethylstilbestrol (5 mg PO tid untuk 6 minggu) sebelum eksisi dapat mengurangi
vascularity JNA namun terkait dengan efek samping memiliki sifat kewanitaan
(feminizing side effects).
Doxorubicin dan dacarbazine disiapkan jika JNA berulang atau
kambuh.
Schuon, et.al. (2006) melaporkan analisis
immunohistochemical dari mekanisme pertumbuhan JNA. Mereka berkesimpulan bahwa
pertumbuhan dan vaskularisasi JNA dikendalikan oleh faktor-faktor yang
dibebaskan dari stromal fibroblasts. Oleh karena itu, dihambatnya faktor-faktor
ini dapat bermanfaat untuk terapi JNA yang tidak dapat dioperasi (inoperable).
* Radioterapi
Beberapa center telah melaporkan rata-rata kesembuhan 80%
dengan terapi radiasi.
Radioterapi stereotactic (yakni: pisau Gamma) mengirimkan
dosis radiasi yang lebih rendah ke jaringan di sekitarnya. Para
ahli telah menyediakan radioterapi untuk penyakit intrakranial atau kasus yang
berulang.
Radioterapi three-dimensional conformal untuk JNA yang luas
(extensive) atau penyebaran hingga intrakranial memberikan suatu alternatif
yang baik untuk radioterapi konvensional berkaitan dengan pengendalian penyakit
dan morbiditas akibat radiasi (radiation morbidity).
External beam irradiation, paling sering digunakan untuk
penyakit intrakranial yang tidak dapat dibedah (unresectable), atau kambuhan
(recurrent). Digunakan dosis yang bervariasi dari 30-46 Gy. Sisa tumor
seringkali muncul dua tahun setelah terapi. Perhatian utama termasuk kulit
sekunder, tulang, jaringan lunak, keganasan tiroid, dan hambatan perkembangan
tulang wajah.
B. Terapi Pembedahan
Beberapa pendekatan yang digunakan tergantung dari lokasi
dan perluasan JNA.
* Rute rinotomi lateral, transpalatal, transmaksila, atau
sphenoethmoidal digunakan untuk tumor-tumor yang kecil (Klasifikasi Fisch
stadium I atau II).
* Pendekatan fossa infratemporal digunakan ketika tumor
telah meluas ke lateral.
* Pendekatan midfacial degloving, dengan atau tanpa
osteotomi LeFort, memperbaiki akses posterior terhadap tumor.
* Pendekatan translokasi wajah dikombinasikan dengan insisi
Weber-Ferguson dan perluasan koronal untuk kraniotomi frontotemporal dengan
midface osteotomies untuk jalan masuk.
* Pendekatan extended anterior subcranial memudahkan
pemotongan tumor sekaligus (en bloc), dekompresi saraf mata, dan pembukaan
sinus kavernosus.
* Intranasal endoscopic surgery dipersiapkan untuk tumor
yang terbatas pada rongga hidung dan sinus paranasal.
Diagnosis Banding
1. Granuloma piogenik (pyogenic granuloma).
2. Polip koanal (choanal polyp).
3. Polip angiomatosa (angiomatous polyp).
4. Kista nasofaringeal (nasopharyngeal cyst).
5. Kordoma (chordoma).
6. Karsinoma (carcinoma).
7. Penyebab lain dari nasal obstruction, (seperti: nasal
polyps, antrochoanal polyp, teratoma, encephalocele, dermoids, inverting
papilloma, rhabdomyosarcoma, squamous cell carcinoma)
8. Penyebab lain dari mimisen (epistaxis), baik sistemik
maupun lokal.
9. Penyebab lain dari proptosis atau pembengkakan rongga
mata (orbital swellings).
Komplikasi
Komplikasi tidak dapat dipisahkan dengan perluasan
intrakranial (penyakit stadium IV), perdarahan yang tak terkontrol dan
kematian, iatrogenic injury terhadap struktur vital, dan transfusi
perioperative.
Komplikasi lainnya meliputi: perdarahan yang banyak
(excessive bleeding). Transformasi keganasan (malignant transformation).
Kebutaan sementara (transient blindness) sebagai hasil embolisasi, namun ini
jarang terjadi. Osteoradionecrosis dan atau kebutaan karena kerusakan saraf
mata dapat terjadi dengan radioterapi. Mati rasa di pipi (anesthesia of the
cheek) sering terjadi dengan insisi Weber-Ferguson.
Prognosis
Berbagai faktor risiko yang berkaitan dengan berulangnya JNA
adalah: keberadaan tumor di fossa pterigoideus dan basisphenoid, erosi clivus,
perluasan intrakranial, suplai makanan dari arteri karotid interna, usia muda,
dan ada tidaknya sisa tumor.
Embolisasi preoperative menurunkan angka morbiditas dan
kekambuhan (recurrence). Rata-rata kesembuhan untuk pembedahan primer mendekati
100% dengan reseksi lengkap dari JNA ekstrakranial dan 70% dengan tumor
intrakranial. Rerata kesembuhan 90% berhubungan dengan pembedahan kedua jika terjadi
kekambuhan.
Tahukah Anda?
Ada istilah "Cancer predisposition syndromes and
associated genes", misalnya: sindrom tuberous sclerosis, bersifat
autosomal dominant, berhubungan dengan gen TSC1 dan TSC2 yang berlokasi di
kromosom 9q34 dan 16p13.3, dan ada keterkaitan erat dengan angiofibroma dan
renal angiomyolipoma.
Referensi
Fauci, et.al. (Ed.) Harrison 's
Principles of Internal Medicine 17th Edition. McGraw-Hill Companies, Inc. USA . 2008; Part
6: Chapter 79.
Goodenberger J, Ross PJ. Juvenile nasopharyngeal
angiofibroma. Radiol Technol. Jul-Aug 2000;71(6):595-8.
Mansfield, E. Angiofibroma. In: eMedicine Specialties >
Vascular Surgery > Medical Topics. Jun 26, 2006.
Roezin A, Dharmabakti US , Musa Z. Angiofibroma Nasofaring
Belia. Dalam: Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala &
Leher. Edisi Keenam. Editor: Soepardi EA, dkk. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia . Jakarta . 2007:188-190.
Schick B, Veldung B, Wemmert S, et al. p53 and Her-2/neu in
juvenile angiofibromas. Oncol Rep. Mar 2005;13(3):453-7.
Schuon R, Brieger J, Heinrich UR, et al. Immunohistochemical
analysis of growth mechanisms in juvenile nasopharyngeal angiofibroma. Eur Arch
Otorhinolaryngol. Dec 20 2006;
Tewfik TL. Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma. In:
eMedicine Specialties > Otolaryngology and Facial Plastic Surgery >
Pediatric Otolaryngology. Feb 23, 2007.
Tyagi I, Syal R, Goyal A. Recurrent and residual juvenile
angiofibromas. J Laryngol Otol. Jan 9 2007;1-8.
Windfuhr JP, Remmert S. Extranasopharyngeal angiofibroma: etiology,
incidence and management. Acta Otolaryngol. Oct 2004;124(8):880-9.
Keterangan dan Sumber Gambar
http://emedicine.medscape.com
Tentang Penulis
Dito Anurogo
- Penemu Hematopsikiatri dan konsep Medical Awards.
- A member of International Federation of Medical Students'
Associations (IFMSA).
- A member of Center for Indonesian Medical Students'
Activities (CIMSA).
- Penulis buku "123 Penyakit dan Pengobatannya".
- Penulis buku "Pelangi Jiwa" (bersama Flacheya)
- Penulis buku "Atlas Dermatologi: Lesi Primer dan
Sekunder"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar