Kamis, 29 Januari 2015

Tumor Hidung

Misteri di Balik Keajaiban Tumor Hidung Angiofibroma
Oleh: Dito Anurogo, S.Ked.

Pengantar
Artikel ilmiah populer berikut ini akan menjelaskan tentang "Misteri di Balik Keajaiban Tumor Hidung Angiofibroma" yang meliputi:
1. Sinonim
2. Definisi
3. Penyebab
4. Epidemiologi
5. Patofisiologi
6. Manifestasi Klinis, yang meliputi: gejala dan tanda
7. Diagnosis
8. Penemuan Histologis
9. Stadium
10. Penatalaksanaan
11. Diagnosis Banding
12. Komplikasi
13. Prognosis
14. Tahukah Anda?
15. Referensi
Juvenile nasopharyngeal angiofibroma (JNA) merupakan satu di antara tumor jinak rongga hidung (benign nasal cavity tumors) yang paling umum dialami oleh remaja pria.
Sinonim
Sebutan lain untuk angiofibroma di dalam literatur antara lain: juvenile angiofibroma, juvenile nasopharyngeal angiofibroma, JNA, nasal cavity tumor, nasal tumor, benign nasal tumor, tumor hidung (nose tumor), nasopharyngeal tumor, angiofibroma nasofaring belia.
Di dalam artikel ilmiah ini digunakan istilah JNA.
Definisi
JNA merupakan tumor jinak pembuluh darah di nasofaring yang secara histologis jinak namun secara klinis bersifat ganas karena berkemampuan merusak tulang dan meluas ke jaringan di sekitarnya, misalnya: ke sinus paranasal, pipi, rongga mata atau tengkorak (cranial vault), sangat mudah berdarah dan sulit dihentikan.
Penyebab (Etiology)
Penyebab pastinya belum dapat ditentukan. Namun teori yang paling dapat diterima adalah bahwa JNA berasal dari sex steroid–stimulated hamartomatous tissue yang terletak di turbinate cartilage. Pengaruh hormonal yang dikemukakan ini dapat menjelaskan mengapa beberapa JNA jarang terjadi (ber-involute) setelah masa remaja (puberty).
Riset terkini oleh Bretani berhasil membuktikan adanya reseptor estrogen dan progesteron pada JNA, namun kadar gonadotropin di semua pasien normal.
Teori lainnya yang diajukan adalah tumor berasal dari embryonal chondrocartilage yang berada di occipital plate.
Selain itu, ada juga teori tentang respon desmoplastic dari nasopharyngeal periosteum atau embryonic fibrocartilage antara basiocciput dan basisphenoid.
Teori tentang penyebab dari sel-sel paraganglionik nonkromafin dari cabang terminal arteri maksilaris juga dipostulasikan.
Hasil analisis hibridisasi genomik komparatif dari tumor ini juga berhasil mengungkapkan delesi kromosom 17, termasuk daerah untuk tumor suppressor gene p53 sama seperti Her-2/neu oncogene.
Epidemiologi
JNA banyak dialami terutama remaja putra berusia 14-18 tahun. Jika remaja putri didiagnosis JNA, maka sebaiknya menjalani pemeriksaan kromosom atau diagnosis JNA akan terus dipertanyakan. Umumnya JNA terjadi pada dekade kedua kehidupan, tepatnya pada rentang usia 7-19 tahun. JNA jarang terjadi setelah usia 25 tahun.
Insiden JNA adalah 1 dari 5000-60.000 kasus THT dan dilaporkan 0,5% dari semua tumor kepala dan leher. Dilaporkan insiden JNA banyak terjadi di Mesir dan India.
Patofisiologi
Menurut Mansfield E (2006), asal mula JNA terletak di sepanjang dinding posterior-lateral di atap nasofaring, biasanya di daerah margin superior foramen sfenopalatina dan aspek posterior dari middle turbinate. Histologi janin mengkonfirmasikan luasnya area jaringan endotel di daerah ini.
Bukannya menyerbu jaringan disekitarnya, namun tumor ini berpindah dan berubah menyandarkan diri pada tekanan sel-sel yang telah mati (necrosis) untuk merusak dan menekan melalui perbatasan yang banyak tulangnya.
Pada 10-20% kasus, terjadi perluasan intrakranial.
Menurut Tewfik TL (2007), tumor mulai tumbuh di dekat foramen sfenopalatina. Tumor-tumor yang besar seringkali memiliki dua lobus (bilobed) atau dumbbell-shaped, dengan satu bagian tumor mengisi nasofaring dan bagian yang lainnya meluas ke fossa pterigopalatina.
Pertumbuhan anterior terjadi pada membran mukosa nasofaring, memindahkannya ke anterior dan inferior menuju ke ruang postnasal. Pada akhirnya, rongga hidung terisi pada satu sisinya, dan septumnya berdeviasi ("bengkok") ke sisi lainnya.
Pertumbuhan superior langsung menuju sinus sfenoid, yang dapat juga terjadi erosi (eroded). Cekungan sinus (cavernous sinus) dapat "diserbu" atau diinvasi juga jika tumor berkembang lebih lanjut.
Penyebaran lateral langsung menuju fossa pterigopalatina, mendesak dinding posterior sinus maksila. Lalu, fossa infratemporal dimasuki atau diinvasi.
Adakalanya, bagian sfenoid yang lebih besar (the greater wing of the sphenoid) dapat ter-erosi, membuka middle fossa dura. Terjadi proptosis dan atrofi nervus optikus jika fissura orbita didesak oleh tumor.
Kejadian angiofibroma ekstranasofaring sangatlah jarang dan cenderung terjadi pada pasien yang lebih tua, terutama pada wanita, namun tumor jenis ini lebih sedikit melibatkan pembuluh darah (less vascular) dan kurang agresif (less aggressive) jika dibandingkan dengan JNA.
Manifestasi Klinis
Gejala
1. Obstruksi nasal (80-90%) dan ingus (rhinorrhea). Ini merupakan gejala yang paling sering, terutama pada permulaan penyakit.
2. Sering mimisen (epistaxis) atau keluar cairan dari hidung yang berwarna darah (blood-tinged nasal discharge). Mimisen, yang berkisar 45-60% ini, biasanya satu sisi (unilateral) dan berulang (recurrent).
3. Sakit kepala (25%), khususnya jika sinus paranasal terhalang.
4. Pembengkakan di wajah (facial swelling), kejadiannya sekitar 10-18%.
5. Tuli konduktif (conductive hearing loss) dari obstruksi tuba eustachius.
6. Melihat dobel (diplopia), yang terjadi sekunder terhadap erosi menuju ke rongga kranial dan tekanan pada kiasma optik.
7. Gejala lainnya yang bisa juga terjadi misalnya: keluar ingus satu sisi (unilateral rhinorrhea), tidak dapat membau (anosmia), berkurangnya sensitivitas terhadap bau (hyposmia), recurrent otitis media, nyeri mata (eye pain), tuli (deafness), nyeri telinga (otalgia), pembengkakan langit-langit mulut (swelling of the palate), kelainan bentuk pipi (deformity of the cheek), dan rhinolalia.
Tanda
1. Tampak massa merah keabu-abuan yang terlihat jelas di faring nasal posterior; nonencapsulated dan seringkali berlobus (lobulated); dapat tidak bertangkai (sessile) atau bertangkai (pedunculated). Angka kejadian massa di hidung (nasal mass) ini mencapai 80%.
2. Mata menonjol (proptosis), langit-langit mulut yang membengkak (a bulging palate), terdapat massa mukosa pipi intraoral (an intraoral buccal mucosa mass), massa di pipi (cheek mass), atau pembengkakan zygoma (umumnya disertai dengan perluasan setempat). Angka kejadian massa di rongga mata (orbital mass) ini sekitar 15%, sedangkan angka kejadian untuk mata menonjol (proptosis) sekitar 10-15%.
3. Tanda lainnya termasuk: otitis serosa karena terhalangnya tuba eustachius, pembengkakan zygomaticus, dan trismus (kejang otot rahang) yang merupakan tanda bahwa tumor telah menyebar ke fossa infratemporal. Juga terdapat penurunan penglihatan yang dikarenakan optic nerve tenting, namun hal ini jarang terjadi.
Diagnosis
Diagnosis angiofibroma ditegakkan melalui pemeriksaan radiologi konvensional, CT scan, MRI, dan angiography.
Pada pemeriksaan radiologi konvensional (foto kepala potongan anteroposterior, lateral, dan posisi Waters) akan tampak gambaran klasik "tanda Holman Miller" yaitu pendorongan prosesus pterigoideus ke belakang, sehingga fisura pterigopalatina melebar.
Pada pemeriksaan CT scan dengan zat kontras akan tampak perluasan massa tumor dan destruksi tulang ke jaringan di sekitarnya. Juga tampak perluasan ke sinus sfenoid, erosi dari greater sphenoidal wing, atau invasi fossa infratemporal dan pterigomaksilaris.
Pemeriksaan magnetic resonance imaging (MRI) diindikasikan untuk menetapkan batas tumor, terutama jika telah meluas ke intrakranial.
Angiography menunjukkan cabang-cabang sistem karotid eksterna yang menjadi penyuplai makanan utama (primary feeders).
Penemuan Histologis
Pada pemeriksaan histologis, ditemukan jaringan serabut yang telah dewasa/matang (mature fibrous tissue) yang mengandung bermacam-macam pembuluh darah yang berdinding tipis. Pembuluh-pembuluh darah ini dilapisi dengan endothelium, namun mereka kekurangan elemen-elemen otot yang dapat berkontraksi secara normal. Inilah yang dapat menjelaskan tentang kecenderungan terjadi perdarahan.
Stadium
Untuk menentukan derajat atau stadium tumor, umumnya digunakan klasifikasi Session dan Fisch.
Klasifikasi Menurut Sessions
Stadium IA - Tumor terbatas di nares posterior dan atau ruang nasofaring.
Stadium IB - Tumor meliputi nares posterior dan atau ruang nasofaring dengan keterlibatan sedikitnya satu sinus paranasal.
Stadium IIA – Tumor sedikit meluas ke lateral menuju pterygomaxillary fossa.
Stadium IIB – Tumor memenuhi pterygomaxillary fossa dengan atau tanpa erosi superior dari tulang-tulang orbita.
Stadium IIIA – Tumor mengerosi dasar tengkorak (yakni: middle cranial fossa/pterygoid base); perluasan intrakranial minimal.
Stadium IIIB – Tumor telah meluas ke intrakranial dengan atau tanpa perluasan ke sinus kavernosus.
Klasifikasi Menurut Fisch
Stadium I – Tumor terbatas di rongga hidung dan nasofaring tanpa kerusakan tulang.
Stadium II - Tumor menginvasi fossa pterigomaksilaris, sinus paranasal dengan kerusakan tulang.
Stadium III - Tumor menginvasi fossa infratemporal, orbita dan atau regio parasellar; sisanya di lateral sinus kavernosus.
Stadium IV - Tumors menginvasi sinus kavernosus, regio kiasma optik, dan atau fossa pituitari.
Penatalaksanaan
Pada prinsipnya dipakai dua pendekatan sebagai penatalaksanaan JNA, yakni terapi medis dan terapi pembedahan.
A. Terapi Medis
*Terapi hormonal dan kemoterapi
Flutamide hormonal, suatu nonsteroidal androgen blocker atau testosterone receptor blocker, efektif untuk mengurangi ukuran tumor pada stadium I dan II hingga 44%.
Terapi hormonal dengan diethylstilbestrol (5 mg PO tid untuk 6 minggu) sebelum eksisi dapat mengurangi vascularity JNA namun terkait dengan efek samping memiliki sifat kewanitaan (feminizing side effects).
Doxorubicin dan dacarbazine disiapkan jika JNA berulang atau kambuh.
Schuon, et.al. (2006) melaporkan analisis immunohistochemical dari mekanisme pertumbuhan JNA. Mereka berkesimpulan bahwa pertumbuhan dan vaskularisasi JNA dikendalikan oleh faktor-faktor yang dibebaskan dari stromal fibroblasts. Oleh karena itu, dihambatnya faktor-faktor ini dapat bermanfaat untuk terapi JNA yang tidak dapat dioperasi (inoperable).
* Radioterapi
Beberapa center telah melaporkan rata-rata kesembuhan 80% dengan terapi radiasi.
Radioterapi stereotactic (yakni: pisau Gamma) mengirimkan dosis radiasi yang lebih rendah ke jaringan di sekitarnya. Para ahli telah menyediakan radioterapi untuk penyakit intrakranial atau kasus yang berulang.
Radioterapi three-dimensional conformal untuk JNA yang luas (extensive) atau penyebaran hingga intrakranial memberikan suatu alternatif yang baik untuk radioterapi konvensional berkaitan dengan pengendalian penyakit dan morbiditas akibat radiasi (radiation morbidity).
External beam irradiation, paling sering digunakan untuk penyakit intrakranial yang tidak dapat dibedah (unresectable), atau kambuhan (recurrent). Digunakan dosis yang bervariasi dari 30-46 Gy. Sisa tumor seringkali muncul dua tahun setelah terapi. Perhatian utama termasuk kulit sekunder, tulang, jaringan lunak, keganasan tiroid, dan hambatan perkembangan tulang wajah.
B. Terapi Pembedahan
Beberapa pendekatan yang digunakan tergantung dari lokasi dan perluasan JNA.
* Rute rinotomi lateral, transpalatal, transmaksila, atau sphenoethmoidal digunakan untuk tumor-tumor yang kecil (Klasifikasi Fisch stadium I atau II).
* Pendekatan fossa infratemporal digunakan ketika tumor telah meluas ke lateral.
* Pendekatan midfacial degloving, dengan atau tanpa osteotomi LeFort, memperbaiki akses posterior terhadap tumor.
* Pendekatan translokasi wajah dikombinasikan dengan insisi Weber-Ferguson dan perluasan koronal untuk kraniotomi frontotemporal dengan midface osteotomies untuk jalan masuk.
* Pendekatan extended anterior subcranial memudahkan pemotongan tumor sekaligus (en bloc), dekompresi saraf mata, dan pembukaan sinus kavernosus.
* Intranasal endoscopic surgery dipersiapkan untuk tumor yang terbatas pada rongga hidung dan sinus paranasal.
Diagnosis Banding
1. Granuloma piogenik (pyogenic granuloma).
2. Polip koanal (choanal polyp).
3. Polip angiomatosa (angiomatous polyp).
4. Kista nasofaringeal (nasopharyngeal cyst).
5. Kordoma (chordoma).
6. Karsinoma (carcinoma).
7. Penyebab lain dari nasal obstruction, (seperti: nasal polyps, antrochoanal polyp, teratoma, encephalocele, dermoids, inverting papilloma, rhabdomyosarcoma, squamous cell carcinoma)
8. Penyebab lain dari mimisen (epistaxis), baik sistemik maupun lokal.
9. Penyebab lain dari proptosis atau pembengkakan rongga mata (orbital swellings).
Komplikasi
Komplikasi tidak dapat dipisahkan dengan perluasan intrakranial (penyakit stadium IV), perdarahan yang tak terkontrol dan kematian, iatrogenic injury terhadap struktur vital, dan transfusi perioperative.
Komplikasi lainnya meliputi: perdarahan yang banyak (excessive bleeding). Transformasi keganasan (malignant transformation). Kebutaan sementara (transient blindness) sebagai hasil embolisasi, namun ini jarang terjadi. Osteoradionecrosis dan atau kebutaan karena kerusakan saraf mata dapat terjadi dengan radioterapi. Mati rasa di pipi (anesthesia of the cheek) sering terjadi dengan insisi Weber-Ferguson.
Prognosis
Berbagai faktor risiko yang berkaitan dengan berulangnya JNA adalah: keberadaan tumor di fossa pterigoideus dan basisphenoid, erosi clivus, perluasan intrakranial, suplai makanan dari arteri karotid interna, usia muda, dan ada tidaknya sisa tumor.
Embolisasi preoperative menurunkan angka morbiditas dan kekambuhan (recurrence). Rata-rata kesembuhan untuk pembedahan primer mendekati 100% dengan reseksi lengkap dari JNA ekstrakranial dan 70% dengan tumor intrakranial. Rerata kesembuhan 90% berhubungan dengan pembedahan kedua jika terjadi kekambuhan.
Tahukah Anda?
Ada istilah "Cancer predisposition syndromes and associated genes", misalnya: sindrom tuberous sclerosis, bersifat autosomal dominant, berhubungan dengan gen TSC1 dan TSC2 yang berlokasi di kromosom 9q34 dan 16p13.3, dan ada keterkaitan erat dengan angiofibroma dan renal angiomyolipoma.
Referensi
Fauci, et.al. (Ed.) Harrison's Principles of Internal Medicine 17th Edition. McGraw-Hill Companies, Inc. USA. 2008; Part 6: Chapter 79.
Goodenberger J, Ross PJ. Juvenile nasopharyngeal angiofibroma. Radiol Technol. Jul-Aug 2000;71(6):595-8.
Mansfield, E. Angiofibroma. In: eMedicine Specialties > Vascular Surgery > Medical Topics. Jun 26, 2006.
Roezin A, Dharmabakti US, Musa Z. Angiofibroma Nasofaring Belia. Dalam: Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher. Edisi Keenam. Editor: Soepardi EA, dkk. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2007:188-190.
Schick B, Veldung B, Wemmert S, et al. p53 and Her-2/neu in juvenile angiofibromas. Oncol Rep. Mar 2005;13(3):453-7.
Schuon R, Brieger J, Heinrich UR, et al. Immunohistochemical analysis of growth mechanisms in juvenile nasopharyngeal angiofibroma. Eur Arch Otorhinolaryngol. Dec 20 2006;
Tewfik TL. Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma. In: eMedicine Specialties > Otolaryngology and Facial Plastic Surgery > Pediatric Otolaryngology. Feb 23, 2007.
Tyagi I, Syal R, Goyal A. Recurrent and residual juvenile angiofibromas. J Laryngol Otol. Jan 9 2007;1-8.
Windfuhr JP, Remmert S. Extranasopharyngeal angiofibroma: etiology, incidence and management. Acta Otolaryngol. Oct 2004;124(8):880-9.
Keterangan dan Sumber Gambar
Coronal CT scan of the lesion filling the left nasal cavity and ethmoid sinuses, blocking the maxillary sinus and deviating the nasal septum to the right side.
http://emedicine.medscape.com
Tentang Penulis
Dito Anurogo
- Penemu Hematopsikiatri dan konsep Medical Awards.
- A member of International Federation of Medical Students' Associations (IFMSA).
- A member of Center for Indonesian Medical Students' Activities (CIMSA).
- Penulis buku "123 Penyakit dan Pengobatannya".
- Penulis buku "Pelangi Jiwa" (bersama Flacheya)
- Penulis buku "Atlas Dermatologi: Lesi Primer dan Sekunder"


Tidak ada komentar:

Posting Komentar