Selasa, 17 Maret 2020

Mengobati Pasien Covid Yang Juga Seorang Dokter



Sebut saja penulis sebagai dr. A. Data di cerita ini didapatkan dari pengalaman pribadi penulis, rekam medis RS yang dibacakan saat operan dinas, dan keterangan dokter penanggung jawab pasien. Tanpa perlu menyebutkan identitas asli demi privasi dan nama baik semua pihak.
Pasien, dr. A, usia mendekati 30 tahun datang ke IGD rumah sakit swasta dengan keluhan demam naik turun disertai batuk sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit. Demam dirasa semakin tinggi hingga dr. A mengaku menggigil dan nyeri kepala tanpa bisa menyebutkan lokasi nyeri kepalanya. Selama 3 hari sejak onset demam, dr. A telah mencoba menatalaksana diri sendiri dengan mengkonsumsi Paracetamol 4x500 mg / hari di hari 1-2 dan naik menjadi 3x750 mg pada hari ke 3. Obat lainnya yaitu pseudoefedrin dan loratadine.
Ketika di IGD RS, perawat dan dokter triase segera melakukan pengkajian awal seperti biasa. Memasang IV line 1 jalur untuk administrasi Paracetamol drip 1 gram.
Kemudian menanyakan ingin dirawat atau tidak. Lantas dr A menjawab tentu iya (di dalam hati bergumam, kalau masih bisa ditangani di rawat jalan kenapa saya ke IGD malam-malam begini). Namun dengan datar sambil menahan rasa sakit dr A menjawab dengan alasan, ya karena kebetulan besok libur dan ada asuransi yang menanggung.
Sampai di sini, dr A baru menceritakan kalau ia juga lulusan dokter namun bukan klinisi. Komunikasi dari petugas triase seakan-akan menjadi lebih ramah dan setiap tindakan yang dilakukan selalu dikomunikasikan (yang penulis fikir waktu itu, ramah tidak ramah bukan hal yang prioritas pada saat gawat darurat). Singkat cerita, hasil pemeriksaan di IGD ditemukan suhu 40°C, laju nadi 125x/menit, napas 16x/menit, tekanan darah 125/85 mmHg. Tampilan pucat, tidak anemis, tidak kuning, Tidak ditemukan kelainan pada EKG. Kemudian dr B (jaga IGD) menelpon dokter DPJP (dr C) untuk konsultasi, dan dr B ditugaskan untuk melakukan pemeriksaan darah lengkap dan radiologi.
Kala itu memang sudah marak kasus pemberitaan Coronavirus, sehingga kewaspadaan untuk deteksi virus ini juga sangat tinggi dimana-mana, ditambah dr A juga kebetulan sering bepergian/travelling.
Singkat cerita setelah selesai pengambilan sampel darah vena dan foto Chest X-ray Postero-Anterior, dr A dibawa ke ruang rawat inap. Setibanya di kamar inap, hanya ada tulisan angka, dan satu-satunya identitas dr. A hanya ada di gelang yang ia gunakan dari IGD. Entah lupa “dibriefing khusus” dari IGD atau bagaimana, semua petugas memanggil dr A dengan sebutan Pak.
Yang dr A rasakan ketika itu justru perasaan tenang, karena memiliki harapan bisa merasakan perlakuan yang sama dengan pasien lainnya (tidak dipengaruhi kelas dan sistem pembayaran).
Keadaan secara klinis di kamar inap semakin lama semakin baik, demam mulai turun ke 37° C, batuk mulai berkurang, nyeri kepala hilang, nafsu makan membaik. Untuk kesigapan perawat, pemilihan terapi empiris oleh tim dokter, dan keteraturan jam kerja pihak kebersihan dan ahli nutrisi, diakui sangat baik.
Dua hari berselang, ada beberapa fenomena yang menurut dr A kalau bukan karena sedikit banyak masih ingat ilmu kedokteran, akan bisa merugikan bahkan membahayakan dr A sebagai pasien. Di antaranya adalah, tidak diedukasi dimana letak urinal terdekat sehingga pasien tidak perlu turun menggotong infus ke kamar mandi yang berakibat IV line macet. Alhasil, IV line sering macet karena darah pasien naik ke konektor dan ekstensi IV line.
Kemudian dari sejak masuk RS hingga H+2 tidak dilakukan pemeriksaan sputum dan kultur darah. Entah karena bukan algoritma yang berlaku atau hal lain. Padahal informasi yang didapatkan dari 2 pemeriksaan ini akan sangat bermanfaat untuk memilih pengobatan yang tepat, apalagi di saat anamnesis telah disebutkan bahwa dr A juga mengalami batuk berdahak mulai berwarna kuning kehijauan.
Selanjutnya yang cukup sedih adalah, dr A menemukan pembengkakan dan nyeri di daerah sekitar IV line dan baru disadari saat H+2 rawat inap. Sebenarnya bekuan darah sudah terlihat dan terasa ketika beberapa kali perawat kesulitan memberikan dr A bolus injeksi melalui IV line tersebut, bahkan terlihat seakan akan dipaksakan menjadi sangat nyeri. Identifikasi bahwa ini adalah flebitis justru dari dr A, bukan dokter jaga, DPJP, maupun perawat yang bertugas. Tidak terbayang jika dr A adalah pasien awam, yang bisa saja tidak sembuh atau memburuk bukan karena penyakitnya, namun justru karena tromboemboli akibat intervensi di rumah sakit (konsekuensi fatal mulai dari DVT, PE, stroke, hingga meninggal dunia).
Laporan kasus ini bukan bertujuan untuk mendiskreditkan sejawat yang telah berjuang bekerja menangani pasien sebaik-baiknya dan sebanyak-banyaknya. Hanya ingin sebagai renungan, pernahkan kita sebagai praktisi kesehatan selalu ingat bagaimana memperlakukan pasien tidak melihat latar belakangnya.

Mengenali sifat pasien yang juga dokter

Mungkin karena memiliki pengalaman dan ilmu, setidaknya ada 3 yang akan kita rasakan ketika menjadi pasien, yaitu:
  • Pasien cenderung “memilih” dokter yang merawat yang dirasa dipercaya
  • Mengharapkan terapi “individu” atau personalized dan perlakuan khusus (jam kunjungan lebih panjang, konsultasi di luar jam regular, dan lain lain).
  • Kecenderungan untuk “self diagnosis
Karena 3 kecenderungan ini maka pasien yang juga dokter seringkali mengalami salah sangka dengan kondisinya sendiri dan dokter yang merawat, bisa saja overdiagnosis atau justru meremehkan penyakitnya. Dan benar angka cuti karena sakit di kalangan Dokter memang jauh lebih rendah dibandingkan profesi lain, bukan karena jarang sakit tapi karena menganggap bisa menangani sendiri penyakitnya. 1

Menangani pasien yang juga dokter

Sebuah doktrin unik dicetuskan oleh Sir William Osler di tahun 1849-1919 yang mengatakan bahwa pelayanan kesehatan harus berdasarkan “siapa individu yang diobati” dibandingkan dengan “apa penyakitnya”. Secara alam bawah sadar, tentu sejawat pernah mengalami dilema seperti ini. Ketika merawat pasien VIP, pasien dengan latar belakang pejabat pemerintahan, artis terkenal, hingga pasien yang berprofesi atau berlatar belakang kedokteran. Mengobati pasien seorang dokter sayangnya tidak diatur secara explisit di Sumpah Hippocrates. 2
Di Britania Raya misalnya, Konsil Kedokteran menyarankan untuk tidak mengobati orang yang memiliki hubungan dekat dengan kita karena akan mempengaruhi objektivitas dan independensi layanan yang diberikan. Namun tidak melarang menolong sejawat sesama dokter apabila dalam keadaan sakit, karena mengobati lebih utama daripada independensi. 2
Dilema muncul ketika pasien memiliki “clinical judgement” sendiri atas kondisinya dan menginginkan diikutsertakan dalam setiap pengambilan keputusan besar seperti memilih jenis terapi atau pembedahan. Tidak hanya pasien berlatar belakang kedokteran, tapi saat ini dengan derasnya arus informasi terkadang banyak pasien yang sudah mempelajari kondisinya dari berbagai sumber informasi (internet dan second opinion misalnya). Suatu praktek yang sebenarnya wajar saja dilakukan oleh praktisi kesehatan termasuk dokter, untuk menawarkan pilihan terapi sebelum meminta persetujuan pasien. Namun bagaimana jika pasien itu memiliki pendapat yang lain? Apakah dokter yang merawat akan bersikap berbeda karena menghargai perasaan sejawatnya?
Asosiasi Kedokteran Inggris menyatakan, “Mengobati sejawat yang sakit merupakan suatu tantangan. Dokter harus menatalaksana sejawat yang sakit sama halnya dengan pasien lainnya”. Di satu sisi bisa jadi karena menganggap pasien adalah sejawat sehingga penggunaan istilah medis menjadi lebih leluasa dalam komunikasi dengan pasien, namun banyak hal yang terlewatkan karena menganggap pasien bisa mengerti dengan sendirinya, termasuk informasi detail dimana fasilitas kamar mandi, saran untuk tidak banyak bergerak selama dirawat menjadi terlupakan untuk disampaikan. Bisa jadi karena tahu pasien adalah sejawat dokter, muncul kecenderungan untuk melakukan terlalu banyak pemeriksaan penunjang karena takut dianggap tidak kompeten ketika terjadi misdiagnosis. Di sisi lain, kita bisa saja mengambil posisi aman untuk menolak atau menghindari pasien yang juga merupakan seorang dokter. Hal ini tidak pernah diajarkan selama pendidikan kedokteran (setidaknya selama penulis kuliah).

Kesimpulannya adalah….

Terdapat setidaknya 3 tantangan utama ketika merawat seorang dokter:
  1. Mempertahankan jarak antara hubungan sesama sejawat atau hubungan sebagai dokter yang merawat/sejawat/teman
  2. Menghindari asumsi terkait pengetahuan dan tingkah laku kesehatan pasien (yang kebetulan juga dokter)
  3. Mengatur akses untuk konsultasi, hasil lab pribadi, dan mendapatkan pendapat dari sejawat lain sama halnya dengan pasien secara umum
Dalam menghadapi masalah ini, terdapat 3 skenario yang biasanya diambil oleh dokter yang merawat:
  1. Mengabaikan latar belakang pasien
  2. Melakukan negosiasi dalam membuat keputusan demi menghargai latar belakang pasien
  3. Mengizinkan keputusan medis ditentukan oleh pasien tersebut
Tidak ada yang salah dan benar dari ketiga skenario di atas, dan terkadang kita bisa melakukan sebagian dari ketiga strategi tersebut tergantung pada kondisi dan pengalaman. 3 Di Norwegia, perihal mengobati pasien seorang dokter bahkan diajarkan dalam suatu program kurikulum untuk meningkatkan aspek psikososial lulusan dokter umum ketika menghadapi permasalahan yang sama, dan program ini dinilai berhasil oleh Asosiasi Kedokteran Norwegia. 2 Apakah perlu dilakukan juga di negara kita?
Sourcedocquity.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar